Friday, April 13, 2007

Kelompok Studi Anak Kampung

Mengapa saya pilih nama Anak Kampung? Ini memang sekedar usulan saya, bisa jadi nanti berbeda tergantung suara temen2 yang lain. Anak kampung melambangkan nama yang sederhana, agar orang tidak terlalu terperangah dan terpengaruh dengan nama. Apalah arti sebuah nama, nama tidak penting. Dan nama baru boleh penting setelah nama itu berarti bagi orang lain. Oleh karena itu jangan dikenal nama ini, biarlah kami mengenalkannya lewat perbuatan, lewat karya yang akan kami persembahkan.

Visi misi program KSAK kira-kira seperti ini.

Visi
  • Menciptakan budaya belajar dan berkarya di kalangan anggotanya
  • Melatih motivasi enterprenurship dalam jiwa anggotanya
  • Melatih tumbuhnya sikap mengedepankan dedikasi dan integritas dalam setiap ucapan, perbuatan dan pekerjaan
  • Mengembangkan sikap memberikan yang terbaik bagi lingkungan sekitarnya

Misi
  • Terciptanya jiwa enterpreneurship di kalangan anggotanya
  • Terbentuknya jiwa-jiwa yang kritis dan peduli, yang mampu membaca kebutuhan masyarakat sekitarnya dan sekaligus memberikan alternatif solusinya
  • Terbentuknya pribadi yang memiliki dedikasi dan integritas yang tinggi dalam mengambil sikap dan pekerjaan
  • Terbentuknya jati diri yang positif, yang senantiasa memikirkan nasib lingkungan sekitar


Target Kegiatan dan Program
  • Belajar merancang sistem dari kebutuhan lingkungan sekitar baik dalam bidang bisnis, pendidikan maupun keummatan (masyarakat). Khsusunya bidang IT.
  • Berlatih mengkritisi terhadap segala sesuatu yang kurang atau belum ideal, kemudian memberikan analisis solusi yang terbaik
  • Berlatih untuk menuliskan segala sesuatu yang telah dihasilkan dalam setiap ilmu yang diperoleh agar bisa dimengerti/dipahami oleh orang lain
  • Berlatih untuk memberikan ilmu kepada orang lain secara ikhlas
  • Berlatih untuk menciptakan segala sesuatu dengan desain dan fitur terbaik untuk mencapai hasil yang maksimal dengan tetap mengukur kemampuan.
  • Berlatih untuk istiqomah dalam mencapai tujuan

  • Berlatih membuat proposal ( bisnis, ilmiah atau kegiatan) agar bisa berpartisipasi dalam program-program yang ada di kampus atau lembaga lainnya
  • Menciptakan karya tulis atau karya ilmiah baik yang diikutsertakan dalam event atau dituangkan dalam tulisan

Labels: , , , ,

"Mroyek" diantara kehidupan dosen dan mahasiswa

Beberapa minggu terakhir ini saya merenung, memikirkan perkembangan adik-adik mahasiswa terutama di kampus TC. Terutama tentang lingkungan kampus yang saya lihat saat ini tidak bagus. Sebenarnya sejak lama pikiran ini menggelayut di otak, tapi tidak menemukan jalan keluar. Ya buntu begitu saja.

Ya, itulah. Saat ini -- karena permintaan pasar juga -- rasanya dunia kampus telah menjadi dunia profit. Jika di tingkat atas kampus telah menjadi badan usaha, di tingkat menengah, para dosen sibuk mengejar proyek diluar (kadang juga ambil) jam kerja, pun demikian juga dengan mahasiswanya.

Tapi ada juga mahasiswa ideal yang vokal, sampai-sampai ada diskusi terbuka "Dosen mroyek, pantaskah?". Ya, biasa kalo mahasiswa bilang begitu, masak akan bilang "Mahasiswa mroyek, pantaskah?". Siapa sih yang mau mengkritik dirinya sendiri?

Ophoria Enterpreneurship

Sebenarnya menurut saya pribadi, mungkin kebanyakan yang ikut-ikutan seperti ini adalah karena terpengaruh ophoria enterpreneur. Ya, sebisa mungkin kita harus jadi kaya apakah itu jadi karyawan, dosen atau profesi non wiraswasta. Seperti tulisannya bung Safir Senduk.

Tapi akibatnya, orang kehilangan jati dirinya sebagai pendidik, sebagai pelajar, atau sebagai pemimpin. Semua berkeinginan 'sukses' dalam arti sempit (baca: kaya raya). Pun mungkin termasuk mahasiswanya, di awal-awal kuliah juga sudah berniat jadi orang sukses (kaya). Akhirnya kalau ada kesempatan ya ikut mroyek juga. Siapa sih yang tak butuh duit? Saya sendiri pun mungkin kalo dulu punya kesempatan juga ikut-ikutan. Untungya dulu gak kebagian proyek...

Nah, sekarang ini kayaknya lumayan parah. Sampai-sampai tidak terasa adanya hawa kampus yang mengedepankan ilmiah, studi atau keilmuan. Pas saya datang ke kampus mau ketemu rekan-rekan mahasiwa untuk membahas rencana kelompok studi, eh, dianggap mroyek juga :D

Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka 4-10 tahun lagi tidak akan muncul generasi atau tenaga ahli. Jangankan 4 tahun lagi, sekarang saja banyak tenaga ahli yang hanya memikirkan bisnis. Semua diukur dari bisnis (profit). Ya, akhirnya kualitas dam produktivitas menjadi menurun... Kampus tidak lagi bisa menciptakan tenaga ahli yang betul-betul profesional dan membanggakan di bidangnya. Tidak ada atau sedikit saja suara-suara hasil karya mahasiswa yang mengharumkan nama jurusan atau kampus.

Kelompok Studi

Kembali kepada laptop, akhirnya saya dan beberapa temen mahasiswa mau merencanakan kelompok studi. Saya sendiri tidak perduli profesi saya apa di kampus, yang penting, dalam kondisi saat ini saya bisa dan akan saya lakukan.

Ya tidak muluk-muluk sih, saya ingin beberapa yang masih memiliki idealisme bidang prestasi akademik saya kumpulkan. Dan mudah-mudahan, ada temen lagi yang mau tertarik untuk bergabung. Setelah itu, kita mencoba saling melatih diri masing-masing untuk tidak sekedar ikut-ikutan dalam arus mroyek-mroyekan. Harus kembali mengenali jati diri mereka sebagai pelajar dan yang seharusnya belajar. Yang kemudian diharapkan tenaga dan fikiran mereka bisa bermanfaat dalam membantu bangsa ini di kemudian hari.

Semoga Allah meridloi sedikit langkah ini. Amiin.

Draft akan saya susun dan tulis di artikela lainnya.

Surabaya, 14 April 2007 01:28 WIB
Seger Hasani

Labels: , , , , ,

Sunday, April 01, 2007

Alternatif Teknologi Early Warning utk Kereta Api

Kecelakaan KA belakangan ini terasa sangat memprihatinkan. Khususnya yang disebabkan oleh faktor manusia (human error). Dan yang baru-baru ini terjadi juga di perlintasan KA Jl Margorejo, hanya disebabkan karena faktor kelalaian penjaga perlintasan.

Walaupun Indonesia bukan negara kaya yang bisa mengimplementasikan / membeli teknologi canggih untuk membuat sistem peringatan dini (early warning) terhadap bahaya kecelakaan. Mestinya kita pun juga jangan terlalu manual (hanya memakai faktor manusia). Karena sebenarnya masih banyak putra bangsa yang mampu membangun sendiri teknologi keamanan tersebut.

Memanfaatkan GPS

Salah satu teknologi yang bisa dipakai adalah GPS (Global Positioning System). GPS adalah sebuah alat yang bisa mendeteksi lokasi sebuah benda di permukaan bumi dengan bantuan satelit.

Kini banyak GPS yang telah terintegrasi dengan alat transmisi data baik berbasis GPRS, GSM maupun radio paket. Sehingga data lokasi GPS tersebut bisa dikirim ke server secara realtime. Dengan mengintegrasikannya dengan GIS (Geographics Information System) kita akan bisa memonitor selalu pergerakan sebuah benda (seperti kereta api) secara real time dari pusat data. Dari pusat data ini, data bisa diakses atau pun bisa dikirim ke mana saja yang diperlukan.

Sederhananya, kita akan bisa mengetahui jarak dan kecepatan antar kereta yang ada di sepanjang rute kereta api. Dengan perhitungan matematis, kita juga bisa memprediksikan apakah gerakan kereta (yang terpasang GPS) tersebut rawan menyebabkan terjadinya sebuah tabrakan atau dalam kondisi normal. Misalnya, ada dua kereta yang menggunakan satu jalur yang sama.

Kedua, jika di tiap perlintasan KA kita pasangkan monitor untuk melihat kedatangan kereta (tanpa tergantung dengan penjaga perlintasan), tentau pemakai jalan tidak perlu menunggu apakah sirine sudah berbunyi, pintu perlintasan tertutup atau lampu merah yang menyala. Mereka bisa melihat sendiri kedatangan kereta via monitor (besar) yang dipasang di pinggir perlintasan. Gambar yang dihasilkan ini animasi adalah hasil pengolahan data GPS yang diambil dari server pusat.

Idealnya, tiap jarak dan kecepatan tertentu kereta mendekati pintu perlintasan tersebut maka sirine akan berbunyi, dan kontrol akan menutup secara otomatis. Namun jika hal ini dirasa terlalu canggih, mungkin adanya monitor ini sudah akan sangat membantu (selain juga sangat menarik) bagi pengguna jalan. Terutama pada jalur-jalur yang padat lalu lintas. Minimal juga membantu penyadarkan penjaga atau orang-orang disekitarnya untuk segera menutup pintu perlintasan.

Bagi kalangan peminat GPS teknologi seperti ini tentu bukan hal baru. Kita bisa belajar seputar masalah ini di milis id-gps@yahoogroups.com. Untuk subscribe kita bisa kirim email kosong ke id-gps-subscribe@yahoogroups.com. Kita tinggal menunggu pihak PT KAI apakah sudah ada pertimbangan untuk menuju kesana atau belum.

Seger Hasani

Labels: , , ,

Tuesday, September 19, 2006

Peran tenaga IT dalam mengurangi korupsi

Kita semua menyadari bahwa korupsi di Indonesia sudah mendarah daging. Tidak saja menjadi kebiasaan (buruk), tapi juga menjadi budaya. Sehingga batas-batas antara korupsi dan tidak korupsi menjadi semakin samar. Sesuatu yang biasa (karena sudah menjadi budaya), akhirnya dianggap wajar walaupun itu sebenarnya praktik korupsi.

Hal inilah yang kiranya juga terjadi di kalangan konsultan atau perusahaan IT terutama yang sering menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah atau BUMN. Yang sebenarnya memiliki peran besar juga dalam menyuburkan praktik korupsi. Namun, karena tidak menjadi pelaku langsung dan seolah-olah berlaku wajar, maka secara hukum memang tidak bisa dianggap korupsi. Apalagi tidak tampak adanya unsur memperkaya pribadi atau orang lain dan juga unsur merugikan negara.

Namun, jika kita meneliti lebih lanjut mengenai praktik tersebut, kita sebenarnya bisa menemukan unsur tersebut. Baik aspek memperkaya pribadi atau orang lain, maupun merugikan negara.

Kita mungkin menyadari bersama dan tahu sama tahu (TST) bagaimana proses tender proyek IT di kalangan pemerintah atau BUMN. Ada beberapa hal yang bisa diindikasikan, antara lain :

1. Tidak adanya ketetapan pasti harga aplikasi/software.

Seberapa canggih atau sederhana proyek tersebut, tidak ada standar pasti berapa batasan atau ketentuan nilainya. Akhirnya muncullah nominal yang aneh-aneh, bahkan tidak masuk akal. Seperti kasus pembuatan website sederhana tapi membutuhkan anggaran sampai 2 miliar. Itu yang terlalu ekstrim. Masih banyak sekali praktik-praktik lainnya seperti pembuatan Web gis, simda, simpeg, dan apapun nama-nama aneh lainnya yang nilai proyeknya beragam dari mulai yang ratusan sampai miliaran. Tapi sampai saat ini rasanya belum ada aturan atau pihak yang kompeten yang bisa mengatur atau membatasi bahwa output yang dihasilkan harus sebesar nilai proyeknya.

Akhirnya ini menjadi medan permainan antara pihak konsultan dengan aparat. Kondisi dimana akan memungkinkannya praktek memperkaya diri atau orang lain, dan juga merugikan negara, karena nilai proyeknya sebenarnya bisa tidak sebesar itu (mark up), disadari atau tidak. Apalagi jika studi kelayakan bisa membuktikan bahwa aplikasi tersebut tidak layak, maka nilai kerugian negara tidak saja dari selisih mark up tersebut, namun secara keseluruhan nilai proyeknya.

2. Ada ketentuan tidak tertulis, bahwa ada nilai minimal proyek, tak perduli seberapa layak proyeknya.

Saya pernah datang ke suatu instansi menawarkan sebuah program. Saya hargai 'sangat murah', cuman Rp 30 juta. Tapi anehnya, justru mintanya dimaksimalkan saja sampai Rp 50 juta. Ini tentu sesuatu yang diluar kewajaran sistem jual beli. Dimana mestinya yang membeli harus menawar dengan harga yang lebih rendah, bukan yang lebih tinggi. Dan hal ini saya yakin tidak terjadi pada saat itu, satu atau dua kali saja. Apalagi yang sehari-hari bermitra dengan aparat pemerintah. Dan nilainya tentu tidak sekecil itu.

Ada semacam ketentuan tak tertulis, bahwa proyek GIS itu harus miliaran. Proyek simda, simpeg atau sejenisnya itu harus ratusan juta, dan ada lagi proyek tanpa pengajuan ke pusat itu maksimal Rp 50 juta, maka jika ada yang lebih kecil dari itu ya dimaksimalkan sekalian.

Nah, ini tentu logika yang terbalik. Dimana nilai proyek tidak didasari atas inovasi atau kualitas produk, tapi atas azas kebiasaan, presepsi atau mungkin sudah aturannya. Apapun aturannya sebenarnya hal ini tidak betul, apalagi jika didasari hanya karena kebiasaan atau presepsi. Karena akan menimbulkan ketimpangan, dimana pihak aparat maupun konsultan hanya akan bicara nilai proyeknya, tak memperdulikan kualitas atau inovasi produk yang ada di dalamnya. Walhasil, hasilnya pun tidak optimal. Karena yang dibahas (uangnya) sudah beres, misalnya proyeknya sudah selesai, ngapain membicarakan kualitas.

Akhirnya banyak proyek-proyek terlantar, tak terpakai. Lalu lagi-lagi rugilah uang negara, uang rakyat.

3. Penawaran biaya rendah belum tentu menang

Saya suatu ketika, juga pernah mencoba ikut tender pengadaan di suatu instansi. Saya merasa jika saya menawarkan harga yang lebih rendah dengan kualitas lebih bagus, pasti akan menang. Tapi ternyata tak seperti itu realitasnya. Justru yang lebih mahal malah diterima.

Inilah yang sangat mengkhawatirkan jika kebiasaan ini tetap dipertahankan. Seperti poin nomor 2, praktek ini juga merupakan sistem jual beli yang tidak wajar. Sesuatu yang tidak wajar, tentu ada sesuatu di baliknya.

Jika sesuatu tersebut ternyata dimanfaatkan oleh aparat sebagai medan memperkaya diri. Tentunya, ini jelas merupakan praktek korupsi. Karena juga akan merugikan negara. Namun, lagi-lagi karena ukuran tender tersebut kurang jelas, akhirnya sistem seperti ini juga tetap berjalan.


Solusi Bagi Pemerintah

Solusi efektif bagi pihak pemerintah tentunya adalah sebisa mungkin memperkecil atau mengikis kebiasaan-kebiasaan di atas. Aturan-aturan pengadaan atau proyek pengembangan aplikasi yang lebih bagus, sehingga memperkecil kesempatan siapapun untuk mempermainkan uang negara.

Beberapa contoh langkah yang bisa dilakukan antara lain :

1. Tender terbuka atau procurement.

Di dalam tender terbuka tersebut, tentunya harus diusahakan semaksimal mungkin tidak ada permainan di dalamnya. Misalnya tendernya sudah terbuka, tapi sosialisasinya tertutup atau terbatas. Tendernya terbuka, tapi persyaratannya rumit. Tendernya sudah ok, tapi seleksinya tidak objektif. Jika seperti ini, maka hasilnya juga sama saja tidak menyelesaikan masalah. Publik harus semaksimal mungkin mengetahui semua proses tersebut.

2. Kompetisi / lomba terbuka.

Ini mungkin langkah sederhana tapi sayangnya jarang dilakukan oleh pihak pemerintah. Rasanya belom pernah ada lomba pembuatan website atau proyek pengembangan sistem tertentu yang dibuka ke publik masyarakat. Semua didominasi oleh konsultan-konsultan tententu yang punya koneksi dekat dengan aparat. Walhasil, ya yang dekat dengan linkungan aparat saja yang memiliki kesempatan, walaupun bisa jadi kualitasnya masih kalah dengan yang lain.

3. Join ke komunitas IT

Mungkin ada baiknya pihak aparat mencoba join atau bergabung dengan komunitas IT di wilayahnya. Saat ini di wilayah masing-masing kota rasanya pasti ada kelompok komunitas IT yang saya kira lebih objektif dalam memikirkan perkembangan IT di daerahnya. Atau mengambil sumber daya yang berasal dari komunitas IT.

Dengan bergabung dengan komunitas IT, biasanya akan terjadi saling kontrol dan mengingatkan satu sama lain dengan minim tendensi. Sehingga diharapkan bisa memajukan IT secara lebih objektif pula, yang pada akhirnya juga bisa mengurangi praktek-praktek atau budaya korupsi seperti di atas.

Peran Tenaga Konsultan IT

Disamping peran pemerintah dan masyarakat, tentunya yang tidak bisa dianggap kecil adalah peran tenaga konsultan IT itu sendiri. Jika dalam perkuliahan atau lingkungan kerja kita jarang memikirkan hal-hal seperti di atas, mungkin saat ini kita harus segera memulainya.

Memang ada sedikit dilematika ketika kita berhadapan langsung dengan kondisi seperti ini. Di lain pihak, kita ingin memajukan perusahaan kita, yang tentunya membutuhkan arus kas yang lancar. Sehingga sudah sewajarnya kita harus mendapatkan proyek-proyek untuk memutar roda bisnis perusahaan. Tapi dengan ikut serta mengikuti arus budaya korupsi (walau tidak secara langsung ikut korupsi) seperti di atas, maka roda budaya tersebut juga akan terus berputar. Tak tahu kapan berhentinya.

Ada kalanya juga kita akan terjebak dalam arus tersebut. Ketika sebenarnya arus kas kita sudah lancar, karyawan sudah sejahtera, penghasilan cukup, tapi karena sudah sehari-hari kita bekerja seperti itu, maka kita sulit mencari alternatif lainnya. Kita sudah profesional dengan lingkungan kerja, dengan model style 'proyek subyektif' seperti itu, maka untuk berinovasi, beralih style menjadi yang profesional dan objektif adalah pekerjaan yang akan sangat sulit. Akhirnya kita terpaksa tetap terus di dalamnya.

Terkecuali, dari pihak pemerintah atau kita, konsultan IT sendiri melakukan gerakan bersama dan dengan niat dan tekad yang besar, semua hambatan tentu bisa dilewati.

Yang paling memungkinkan, yang lebih bertanggungjawab dan yang lebih mudah dalam menanamkan jiwa anti korupsi sebenarnya adalah dunia pendidikan. Dimana perguruan tinggi yang menciptakan konsultan-konsultan khususnya IT, harus segera memperhatikan hal ini. Pendidikan seharusnya tidak saja berkonsentrasi meningkatkan skill dan pengetahuan sarjana dalam bidang IT, tapi juga pendidikan mental bekerja dan pengabdian di profesinya.

Budaya-budaya korupsi adalah ditimbulkan dari kesalahan teori kesuksesan. Dimana kesuksesan yang senantiasa diukur dengan materi, banyaknya uang atau prestise yang kita terima. Penghasilan (gaji) tinggi, perusahaan kaya raya, atau kedudukan prestise di perusahaan-perusahaan besar. Semua itu menimbulkan banyaknya sarjana IT yang tidak mengerti arti pengabdian. Pengabdian kepada bangsa/ummat, pengabdian kepada profesinya. Kita mengedepankan prestise, tapi menterlantarkan prestasi.

Dengan hanya mengejar prestise, banyak dari kita yang melupakan bagaimana harus menciptakan sesuatu yang bermanfaat. Kita merencanakan, memprogram, membuat, atau menciptakan sesuatu yang hanya bertujuan menghasilkan uang, atau meningkatkan jabatan, tapi tidak perlu harus bermanfaat. Yang penting jadi, bukan harus berguna.

Padahal dari kecil (orang tua) kita selalu bercita-cita agar bisa menjadi manusia yang 'berguna' bagi nusa, bangsa, dan agama.

Mengembalikan integritas hati

"Saudara sekalian, saya bisa berdiri disini sungguh tidak akan terjadi jika tanpa dukungan Anda sekalian. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya atas dukungan dan kerjasamanya yang baik selama ini". Itulah kira-kira, ucapan seseorang yang baru saja dilantik jadi pejabat atau pangkat baru di suatu perusahaan atau instansi.

Tidak saja di kata-kata sambutan pejabat baru, di mana saja dan kapan saja kita senantiasa mengucapkan yang baik-baik kepada audiens atau lawan bicara kita. Terutama yang memang betul-betul mengandalkan dukungan orang lain seperti pemilihan AFI atau Indonesian Idols. Bahkan Dea Tobing sampai menyanyikan terimakasih cinta, untuk menggambarkan besarnya dukungan pemirsa atas kemenangannya.

Itulah teori komunikasi, yang selalu kita pelajari dimana saja, dimana kita harus memberikan pengormatan yang besar kepada lawan bicara kita. Kepada bawahan kita, kepada teman-teman kita. Bahwa karena peranan merekalah kita bisa menggapai kesuksesan.

Tapi, pernahkah kita ukur, apakah hati kita juga seperti yang kita ucapkan? Seperti ketika kita mengatakan ucapan terima kasih kepada bawahan kita, kepada rakyat kita, kepada kawan-kawan kita, kepada istri dan orang tua kita ketika kita mencapai kesuksesan? Betulkah hati kita memang betul-betul jujur berterima kasih? Ataukah sekedar lips service? Sekedar menjalankan teori komunikasi, agar kita tidak dianggap tidak tahu terima kasih.

Kalau banyak pemimpin kita mengatakan bahwa mereka terpilih karena dukungan rakyat, mengapa sedikit saja yang peduli dengan nasib mereka? Yang nyata-nyata memilihnya. Tidak sekedar dengan ucapan, tapi tindakan, bahkan pengorbanan. Tidak saja secara kualitatif, tapi juga empiris. Terukur dengan angka-angka tertentu.

Yang parah memang mungkin kita tidak tahu terima kasih. Tapi hal itu tidak mungkin karena setiap kampanye atau pidato, kita senantiasa mengucapkan terima kasih karena telah memberikan kepercayaan kepada kita untuk jadi pemimpin mereka.

Yang mungkin adalah, rasa terima kasih tersebut belum sampai ke hati kita. Bibir kita tidak bergetar ketika mengucapkan terima kasih tersebut. Mata kita tidak berkaca-kaca karena terharu dengan rasa penuh harap dan kasih sayang serta sanjungan mereka kepada kita. Dan belum ada desir do'a dalam hati kita untuk kebahagiaan mereka yang telah memilih kita.

Kita tidak saja melupakan mereka, kita telah melupakan hati kita. Kita tidak lagi punya integritas, tidak perlu kepada instansi dan rakyat. Tapi integritas ucapan dan hati kita. Kita terlalu sering mengandalkan kecerdasan, ucapan serta teori komunikasi. Kecerdasan menarik perhatian orang, ucapan-ucapan tajam diplomasi untuk menundukkan mereka, serta teori-teori komunikasi massa yang sudah hafal diluar kepala.

Tapi kita melupakan satu hal prinsip yang sebenarnya adalah pilar utama dalam tiap tindakan kita, yaitu integritas hati. Maka tidak heran, jika tindakan-tindakan atau keputusan2 kita amat jarang yang sesuai dengan ucapan kita. Karena memang ketika mengucapkan sesuatu, kita mendasarkannya ke teori atau nafsu, bukan hati.

Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku
mendengar Rasulullah bersabda:

"Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati".

*[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599]*

Oleh karena itulah sudah saatnya kita belajar kembali memperhitungkan hati. Kita kembalikan integritas kita ke hati, sehingga ucapan dan tindakan kita harus senantiasa didasari dari hati. Bukan karena ingin dipuja, bukan karena ingin dianggap cerdas, dianggap berwibawa dan lain sebagainya. Tapi untuk mempelajari diri kita sendiri, agar menjadi orang yang bertanggung jawab dan amanah terhadap apa yang sudah kita sampaikan.

Insya Allah, dengan hati, ucapan-ucapan kita akan lebih menggetarkan lawan bicara kita. Tidak perlu sulit-sulit. Cukup, ajak hati kita untuk sejajar dengan yang kita ucapkan sehari-hari. Yang kita ucapkan ke bawahan, yang kita ajarkan ke keluarga dan anak-anak, atau yang kita sampaikan kepada relasi dan kawan-kawan. Jika itu belom sampai ke hati, tidak sama dengan isi hati, lebih baik urungkan dulu. Tunggu sampai hati sudah setuju, atau beranikan diri untuk mengucapkan yang memang tidak disetujui isi hati.

Hati tidak bisa ditipu. Hati akan mengajak kita untuk senantiasa mengajak ke fitrah, ke jalan yang selalu benar. Sehingga akan membawa kita selamat, di dunia maupun akhirat.