Tuesday, September 19, 2006

Mengembalikan integritas hati

"Saudara sekalian, saya bisa berdiri disini sungguh tidak akan terjadi jika tanpa dukungan Anda sekalian. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya atas dukungan dan kerjasamanya yang baik selama ini". Itulah kira-kira, ucapan seseorang yang baru saja dilantik jadi pejabat atau pangkat baru di suatu perusahaan atau instansi.

Tidak saja di kata-kata sambutan pejabat baru, di mana saja dan kapan saja kita senantiasa mengucapkan yang baik-baik kepada audiens atau lawan bicara kita. Terutama yang memang betul-betul mengandalkan dukungan orang lain seperti pemilihan AFI atau Indonesian Idols. Bahkan Dea Tobing sampai menyanyikan terimakasih cinta, untuk menggambarkan besarnya dukungan pemirsa atas kemenangannya.

Itulah teori komunikasi, yang selalu kita pelajari dimana saja, dimana kita harus memberikan pengormatan yang besar kepada lawan bicara kita. Kepada bawahan kita, kepada teman-teman kita. Bahwa karena peranan merekalah kita bisa menggapai kesuksesan.

Tapi, pernahkah kita ukur, apakah hati kita juga seperti yang kita ucapkan? Seperti ketika kita mengatakan ucapan terima kasih kepada bawahan kita, kepada rakyat kita, kepada kawan-kawan kita, kepada istri dan orang tua kita ketika kita mencapai kesuksesan? Betulkah hati kita memang betul-betul jujur berterima kasih? Ataukah sekedar lips service? Sekedar menjalankan teori komunikasi, agar kita tidak dianggap tidak tahu terima kasih.

Kalau banyak pemimpin kita mengatakan bahwa mereka terpilih karena dukungan rakyat, mengapa sedikit saja yang peduli dengan nasib mereka? Yang nyata-nyata memilihnya. Tidak sekedar dengan ucapan, tapi tindakan, bahkan pengorbanan. Tidak saja secara kualitatif, tapi juga empiris. Terukur dengan angka-angka tertentu.

Yang parah memang mungkin kita tidak tahu terima kasih. Tapi hal itu tidak mungkin karena setiap kampanye atau pidato, kita senantiasa mengucapkan terima kasih karena telah memberikan kepercayaan kepada kita untuk jadi pemimpin mereka.

Yang mungkin adalah, rasa terima kasih tersebut belum sampai ke hati kita. Bibir kita tidak bergetar ketika mengucapkan terima kasih tersebut. Mata kita tidak berkaca-kaca karena terharu dengan rasa penuh harap dan kasih sayang serta sanjungan mereka kepada kita. Dan belum ada desir do'a dalam hati kita untuk kebahagiaan mereka yang telah memilih kita.

Kita tidak saja melupakan mereka, kita telah melupakan hati kita. Kita tidak lagi punya integritas, tidak perlu kepada instansi dan rakyat. Tapi integritas ucapan dan hati kita. Kita terlalu sering mengandalkan kecerdasan, ucapan serta teori komunikasi. Kecerdasan menarik perhatian orang, ucapan-ucapan tajam diplomasi untuk menundukkan mereka, serta teori-teori komunikasi massa yang sudah hafal diluar kepala.

Tapi kita melupakan satu hal prinsip yang sebenarnya adalah pilar utama dalam tiap tindakan kita, yaitu integritas hati. Maka tidak heran, jika tindakan-tindakan atau keputusan2 kita amat jarang yang sesuai dengan ucapan kita. Karena memang ketika mengucapkan sesuatu, kita mendasarkannya ke teori atau nafsu, bukan hati.

Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku
mendengar Rasulullah bersabda:

"Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati".

*[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599]*

Oleh karena itulah sudah saatnya kita belajar kembali memperhitungkan hati. Kita kembalikan integritas kita ke hati, sehingga ucapan dan tindakan kita harus senantiasa didasari dari hati. Bukan karena ingin dipuja, bukan karena ingin dianggap cerdas, dianggap berwibawa dan lain sebagainya. Tapi untuk mempelajari diri kita sendiri, agar menjadi orang yang bertanggung jawab dan amanah terhadap apa yang sudah kita sampaikan.

Insya Allah, dengan hati, ucapan-ucapan kita akan lebih menggetarkan lawan bicara kita. Tidak perlu sulit-sulit. Cukup, ajak hati kita untuk sejajar dengan yang kita ucapkan sehari-hari. Yang kita ucapkan ke bawahan, yang kita ajarkan ke keluarga dan anak-anak, atau yang kita sampaikan kepada relasi dan kawan-kawan. Jika itu belom sampai ke hati, tidak sama dengan isi hati, lebih baik urungkan dulu. Tunggu sampai hati sudah setuju, atau beranikan diri untuk mengucapkan yang memang tidak disetujui isi hati.

Hati tidak bisa ditipu. Hati akan mengajak kita untuk senantiasa mengajak ke fitrah, ke jalan yang selalu benar. Sehingga akan membawa kita selamat, di dunia maupun akhirat.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home