Tuesday, September 19, 2006

Peran tenaga IT dalam mengurangi korupsi

Kita semua menyadari bahwa korupsi di Indonesia sudah mendarah daging. Tidak saja menjadi kebiasaan (buruk), tapi juga menjadi budaya. Sehingga batas-batas antara korupsi dan tidak korupsi menjadi semakin samar. Sesuatu yang biasa (karena sudah menjadi budaya), akhirnya dianggap wajar walaupun itu sebenarnya praktik korupsi.

Hal inilah yang kiranya juga terjadi di kalangan konsultan atau perusahaan IT terutama yang sering menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah atau BUMN. Yang sebenarnya memiliki peran besar juga dalam menyuburkan praktik korupsi. Namun, karena tidak menjadi pelaku langsung dan seolah-olah berlaku wajar, maka secara hukum memang tidak bisa dianggap korupsi. Apalagi tidak tampak adanya unsur memperkaya pribadi atau orang lain dan juga unsur merugikan negara.

Namun, jika kita meneliti lebih lanjut mengenai praktik tersebut, kita sebenarnya bisa menemukan unsur tersebut. Baik aspek memperkaya pribadi atau orang lain, maupun merugikan negara.

Kita mungkin menyadari bersama dan tahu sama tahu (TST) bagaimana proses tender proyek IT di kalangan pemerintah atau BUMN. Ada beberapa hal yang bisa diindikasikan, antara lain :

1. Tidak adanya ketetapan pasti harga aplikasi/software.

Seberapa canggih atau sederhana proyek tersebut, tidak ada standar pasti berapa batasan atau ketentuan nilainya. Akhirnya muncullah nominal yang aneh-aneh, bahkan tidak masuk akal. Seperti kasus pembuatan website sederhana tapi membutuhkan anggaran sampai 2 miliar. Itu yang terlalu ekstrim. Masih banyak sekali praktik-praktik lainnya seperti pembuatan Web gis, simda, simpeg, dan apapun nama-nama aneh lainnya yang nilai proyeknya beragam dari mulai yang ratusan sampai miliaran. Tapi sampai saat ini rasanya belum ada aturan atau pihak yang kompeten yang bisa mengatur atau membatasi bahwa output yang dihasilkan harus sebesar nilai proyeknya.

Akhirnya ini menjadi medan permainan antara pihak konsultan dengan aparat. Kondisi dimana akan memungkinkannya praktek memperkaya diri atau orang lain, dan juga merugikan negara, karena nilai proyeknya sebenarnya bisa tidak sebesar itu (mark up), disadari atau tidak. Apalagi jika studi kelayakan bisa membuktikan bahwa aplikasi tersebut tidak layak, maka nilai kerugian negara tidak saja dari selisih mark up tersebut, namun secara keseluruhan nilai proyeknya.

2. Ada ketentuan tidak tertulis, bahwa ada nilai minimal proyek, tak perduli seberapa layak proyeknya.

Saya pernah datang ke suatu instansi menawarkan sebuah program. Saya hargai 'sangat murah', cuman Rp 30 juta. Tapi anehnya, justru mintanya dimaksimalkan saja sampai Rp 50 juta. Ini tentu sesuatu yang diluar kewajaran sistem jual beli. Dimana mestinya yang membeli harus menawar dengan harga yang lebih rendah, bukan yang lebih tinggi. Dan hal ini saya yakin tidak terjadi pada saat itu, satu atau dua kali saja. Apalagi yang sehari-hari bermitra dengan aparat pemerintah. Dan nilainya tentu tidak sekecil itu.

Ada semacam ketentuan tak tertulis, bahwa proyek GIS itu harus miliaran. Proyek simda, simpeg atau sejenisnya itu harus ratusan juta, dan ada lagi proyek tanpa pengajuan ke pusat itu maksimal Rp 50 juta, maka jika ada yang lebih kecil dari itu ya dimaksimalkan sekalian.

Nah, ini tentu logika yang terbalik. Dimana nilai proyek tidak didasari atas inovasi atau kualitas produk, tapi atas azas kebiasaan, presepsi atau mungkin sudah aturannya. Apapun aturannya sebenarnya hal ini tidak betul, apalagi jika didasari hanya karena kebiasaan atau presepsi. Karena akan menimbulkan ketimpangan, dimana pihak aparat maupun konsultan hanya akan bicara nilai proyeknya, tak memperdulikan kualitas atau inovasi produk yang ada di dalamnya. Walhasil, hasilnya pun tidak optimal. Karena yang dibahas (uangnya) sudah beres, misalnya proyeknya sudah selesai, ngapain membicarakan kualitas.

Akhirnya banyak proyek-proyek terlantar, tak terpakai. Lalu lagi-lagi rugilah uang negara, uang rakyat.

3. Penawaran biaya rendah belum tentu menang

Saya suatu ketika, juga pernah mencoba ikut tender pengadaan di suatu instansi. Saya merasa jika saya menawarkan harga yang lebih rendah dengan kualitas lebih bagus, pasti akan menang. Tapi ternyata tak seperti itu realitasnya. Justru yang lebih mahal malah diterima.

Inilah yang sangat mengkhawatirkan jika kebiasaan ini tetap dipertahankan. Seperti poin nomor 2, praktek ini juga merupakan sistem jual beli yang tidak wajar. Sesuatu yang tidak wajar, tentu ada sesuatu di baliknya.

Jika sesuatu tersebut ternyata dimanfaatkan oleh aparat sebagai medan memperkaya diri. Tentunya, ini jelas merupakan praktek korupsi. Karena juga akan merugikan negara. Namun, lagi-lagi karena ukuran tender tersebut kurang jelas, akhirnya sistem seperti ini juga tetap berjalan.


Solusi Bagi Pemerintah

Solusi efektif bagi pihak pemerintah tentunya adalah sebisa mungkin memperkecil atau mengikis kebiasaan-kebiasaan di atas. Aturan-aturan pengadaan atau proyek pengembangan aplikasi yang lebih bagus, sehingga memperkecil kesempatan siapapun untuk mempermainkan uang negara.

Beberapa contoh langkah yang bisa dilakukan antara lain :

1. Tender terbuka atau procurement.

Di dalam tender terbuka tersebut, tentunya harus diusahakan semaksimal mungkin tidak ada permainan di dalamnya. Misalnya tendernya sudah terbuka, tapi sosialisasinya tertutup atau terbatas. Tendernya terbuka, tapi persyaratannya rumit. Tendernya sudah ok, tapi seleksinya tidak objektif. Jika seperti ini, maka hasilnya juga sama saja tidak menyelesaikan masalah. Publik harus semaksimal mungkin mengetahui semua proses tersebut.

2. Kompetisi / lomba terbuka.

Ini mungkin langkah sederhana tapi sayangnya jarang dilakukan oleh pihak pemerintah. Rasanya belom pernah ada lomba pembuatan website atau proyek pengembangan sistem tertentu yang dibuka ke publik masyarakat. Semua didominasi oleh konsultan-konsultan tententu yang punya koneksi dekat dengan aparat. Walhasil, ya yang dekat dengan linkungan aparat saja yang memiliki kesempatan, walaupun bisa jadi kualitasnya masih kalah dengan yang lain.

3. Join ke komunitas IT

Mungkin ada baiknya pihak aparat mencoba join atau bergabung dengan komunitas IT di wilayahnya. Saat ini di wilayah masing-masing kota rasanya pasti ada kelompok komunitas IT yang saya kira lebih objektif dalam memikirkan perkembangan IT di daerahnya. Atau mengambil sumber daya yang berasal dari komunitas IT.

Dengan bergabung dengan komunitas IT, biasanya akan terjadi saling kontrol dan mengingatkan satu sama lain dengan minim tendensi. Sehingga diharapkan bisa memajukan IT secara lebih objektif pula, yang pada akhirnya juga bisa mengurangi praktek-praktek atau budaya korupsi seperti di atas.

Peran Tenaga Konsultan IT

Disamping peran pemerintah dan masyarakat, tentunya yang tidak bisa dianggap kecil adalah peran tenaga konsultan IT itu sendiri. Jika dalam perkuliahan atau lingkungan kerja kita jarang memikirkan hal-hal seperti di atas, mungkin saat ini kita harus segera memulainya.

Memang ada sedikit dilematika ketika kita berhadapan langsung dengan kondisi seperti ini. Di lain pihak, kita ingin memajukan perusahaan kita, yang tentunya membutuhkan arus kas yang lancar. Sehingga sudah sewajarnya kita harus mendapatkan proyek-proyek untuk memutar roda bisnis perusahaan. Tapi dengan ikut serta mengikuti arus budaya korupsi (walau tidak secara langsung ikut korupsi) seperti di atas, maka roda budaya tersebut juga akan terus berputar. Tak tahu kapan berhentinya.

Ada kalanya juga kita akan terjebak dalam arus tersebut. Ketika sebenarnya arus kas kita sudah lancar, karyawan sudah sejahtera, penghasilan cukup, tapi karena sudah sehari-hari kita bekerja seperti itu, maka kita sulit mencari alternatif lainnya. Kita sudah profesional dengan lingkungan kerja, dengan model style 'proyek subyektif' seperti itu, maka untuk berinovasi, beralih style menjadi yang profesional dan objektif adalah pekerjaan yang akan sangat sulit. Akhirnya kita terpaksa tetap terus di dalamnya.

Terkecuali, dari pihak pemerintah atau kita, konsultan IT sendiri melakukan gerakan bersama dan dengan niat dan tekad yang besar, semua hambatan tentu bisa dilewati.

Yang paling memungkinkan, yang lebih bertanggungjawab dan yang lebih mudah dalam menanamkan jiwa anti korupsi sebenarnya adalah dunia pendidikan. Dimana perguruan tinggi yang menciptakan konsultan-konsultan khususnya IT, harus segera memperhatikan hal ini. Pendidikan seharusnya tidak saja berkonsentrasi meningkatkan skill dan pengetahuan sarjana dalam bidang IT, tapi juga pendidikan mental bekerja dan pengabdian di profesinya.

Budaya-budaya korupsi adalah ditimbulkan dari kesalahan teori kesuksesan. Dimana kesuksesan yang senantiasa diukur dengan materi, banyaknya uang atau prestise yang kita terima. Penghasilan (gaji) tinggi, perusahaan kaya raya, atau kedudukan prestise di perusahaan-perusahaan besar. Semua itu menimbulkan banyaknya sarjana IT yang tidak mengerti arti pengabdian. Pengabdian kepada bangsa/ummat, pengabdian kepada profesinya. Kita mengedepankan prestise, tapi menterlantarkan prestasi.

Dengan hanya mengejar prestise, banyak dari kita yang melupakan bagaimana harus menciptakan sesuatu yang bermanfaat. Kita merencanakan, memprogram, membuat, atau menciptakan sesuatu yang hanya bertujuan menghasilkan uang, atau meningkatkan jabatan, tapi tidak perlu harus bermanfaat. Yang penting jadi, bukan harus berguna.

Padahal dari kecil (orang tua) kita selalu bercita-cita agar bisa menjadi manusia yang 'berguna' bagi nusa, bangsa, dan agama.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home